“Ketika ‘Efisiensi’ Membunuh Perusahaan: Studi Kasus Eddie Lampert & Sears”

    


        Banyak orang pikir kebangkrutan datang dari persaingan, krisis, atau kondisi pasar. Tapi kadang penyebabnya lebih sederhana dan lebih menyakitkan, yaitu kepemimpinan yang salah arah dan kebijakan finansial yang bukan efisien, tetapi pelit.
        Ada perusahaan retail raksasa di Amerika bernama Sears. Dulu sebesar Matahari + Tokopedia + Gramedia digabung jadi satu. Perusahaan itu hancur bukan karena pesaing, tetapi karena satu hal sederhana tersebut. 
        Didirikan pada tahun 1886, Sears menjadi salah satu icon retail Amerika bahkan menjadi simbol kemakmuran kelas menengah di Amerika dengan asset berupa ribuan toko, dan jutaan pelanggan setia.  Sears juga merupakan dept. store yang mempelopori katalog belanja pos (versi awal e-commerce). sehingga disebut “Amazon sebelum Amazon"
        Tahun 2005, datanglah Eddie Lampert yang terkenal dengan sebutan ‘the next Warren Buffett’ mantan hedge fund manager, super jenius finansial yang membentuk Sears Holding lewat merger senilai $11 miliar menggabungkan Sears + Kmart. Janjinya: “Efisiensi total akan membuat Sears bangkit.” 
        Tapi cara dia menjalankannya bukan cara bisnis, melainkan cara investasi — sangat matematis, dingin dan penuh asumsi bahwa manusia itu bisa diganti angka.


Yang dipercaya dan dilakukan Lampert saat itu:
1. Persaingan internal dan management konflik.
        Lampert percaya, kalau setiap orang dan departemen dibuat bersaing secara internal, maka yang terbaik akan muncul.
Jadi ia membagi Sears jadi 30 unit bisnis — dan menyuruh mereka bersaing satu sama lain untuk mendapatkan anggaran, perekrutan staff, dan service pelanggan. Mereka tidak boleh kolaborasi untuk saling bantu, akibatnya tiap divisi saling menjatuhkan.
        Divisi alat rumah tangga bersaing dengan divisi elektronik. Marketing bersaing dengan sales, bisnis development bersaing dengan purchasing. Data dan aset (seperti database pelanggan) tidak dibagikan antar tim, Marketing kampanye tumpang tindih, budaya kerja penuh intrik dan ego.
2. Efisiensi yang Salah Sasaran
        Lampert melihat semua biaya sebagai “beban”, bukan investasi.
Sehingga setelah bikin kompetisi internal, Lampert mulai memangkas semua yang dianggap ‘tidak perlu’ seperti:
  • Perawatan toko: banyak gerai jadi kotor, pencahayaan redup, AC rusak, karpet bau, rak berantakan.
  • Marketing dan IT sistem kasir dan inventory tetap kuno sehingga tidak bisa bersaing dengan digital retail dan hampir tidak ada kampanye besar sejak 2010-an. Alasan Lampert saat itu "terlalu mahal untuk ikut trend digital"  karena fokusnya hanya pada laporan keuangan jangka pendek.
  • Untuk menutup hutang jagka pendek, Lampert memilih untuk menjual merek terkenal (Craftsman, Kenmore)
        Kebijakan-kebijakan itu menyebabkan turnover tinggi, moral tim anjlok dan pelayanan menjadi buruk. Pelanggan mulai lari ke Target, Walmart, dan Amazon. Niat awal Lampert efisiensi, tapi yang terjadi adalah chaos total, kompetisi internal yang kejam dan energi organisasi habis untuk berperang internal.
3. Kebijakan SDM
        Lampert percaya efisiensi biaya = profit naik, sehingga gaji staf dipangkas, bonus dan benefit dihapus.  Staf toko dikurangi drastis kadang hanya 1–2 orang melayani seluruh lantai. Banyak pegawai senior dikeluarkan dan diganti staf junior yang “lebih murah”.  Eddie Lampert cerdas secara finansial, tapi buta secara operasional dan manusiawi.
4. Kebijakan untuk kepentingan pribadi.
        Sebagai pemilik hedge fund ESL Investments, Lampert sering membuat kebijakan untuk kepentingan pribadinya seperti menjual properti Sears ke perusahaannya sendiri, lalu menyewakan kembali ke Sears. Ini disebut “financial engineering for self-gain” — bukan strategi bisnis sejati. Tahun 2018 Sears resmi bangkrut, Lampert mundur tapi tetap menyelamatkan aset-aset berharga lewat fund pribadinya. Sears hancur, tapi Lampert tetap untung pribadi lewat transaksi internal.
5. Tidak mengikuti trend karena tidak mau berinvestasi. 
        Saat Amazon naik, semua retail besar (Target, Walmart) langsung pivot ke e-commerce, tapi Lampert menolak berinvestasi besar untuk membangun platform digital Sears. Padahal, Sears sudah punya infrastruktur kuat untuk online commerce karena mereka punya katalog belanja via pos sejak 1900-an — model awal e-commerce! Tapi karena pelit dan kaku, peluang emas itu hilang.

        Karena kebijakan - kebijakan ajaib yang dibuat Lampert antara 2005–2018, penjualan anjlok lebih dari 60%, 200.000 pegawai kehilangan pekerjaan, Ratusan toko ditutup. Eddie Lampert tetap kaya dan yang tersisa dari kerajaan bisnis itu hanyalah simbol keangkuhan seorang pemimpin yang percaya bahwa “hemat” bisa menggantikan “visi”.

Comments

Popular Posts