THE COBRA EFFECT - Ketika Niat Baik Kebijakan Berakhir Bencana

    




    Pengalaman dan jam terbang yang tinggi belum tentu membuat seorang eksekutif tidak membuat kesalahan, apalagi jika kesalahan itu adalah suatu kebijakan yang penentuan benar atau salahnya bias tergantung sudut pandang.  Masalah yang paling sering terjadi adalah seorang manager senior ataupun junior mencoba memecahkan satu masalah, tetapi solusi yang diterapkan malah melahirkan masalah baru—bahkan lebih besar—dari yang sebelumnya. 
    Kalo anda pernah mengalami atau menyaksikan, artinya anda baru saja menyaksikan beraksinya The Cobra Effect.
    
Fenomena ini adalah pengingat keras bagi para pembuat kebijakan, manajer, dan pemimpin: di dunia yang kompleks, niat baik saja tidak cukup. Kita harus memikirkan bagaimana insentif yang kita berikan akan memicu respons tak terduga dari orang-orang.

Apa Itu The Cobra Effect?

    The Cobra Effect (Efek Kobra) adalah istilah yang menggambarkan situasi di mana solusi yang dirancang untuk mengatasi masalah justru memperburuk masalah tersebut. Hal ini terjadi karena solusi tersebut menciptakan apa yang disebut Insentif Sesat (Perverse Incentive).    

Istilah ini berasal dari sebuah kisah yang konon terjadi di India era kolonial Inggris. Ketika itu populasi ular kobra di Delhi sangat tinggi dan sangat meresahkan dan membahayakan warga. Pemerintah Inggris menawarkan hadiah (bounty) berupa uang tunai bagi warga yang bisa menangkap atau membunuh ular kobra.

    Warga Delhi yang cerdik melihat ini sebagai peluang bisnis dan banyak yang membuka bisnis "berternak kobra". Lalu setelah beberapa waktu ular - ular kobra tersebut dibunuh dan diserahkan ke pemerintah kolonial untuk ditukar dengan hadiah.

Bencana (Efek Kobra): Ketika pemerintah menyadari penipuan ini, mereka segera menghentikan program hadiah. Akibatnya, para peternak kobra melepaskan ribuan kobra yang sudah mereka ternakkan ke alam liar. Populasi kobra liar di Delhi pun meningkat drastis, jauh lebih buruk daripada sebelum program dimulai.

Tujuan awal untuk mengurangi kobra malah menghasilkan lebih banyak kobra. Inilah paradoks The Cobra Effect.

Di Indonesia pun The Cobra Effect pernah terjadi. Ini adalah fenomena sosial cerminan universal dari perilaku manusia yang merespons insentif secara rasional—demi keuntungan pribadi—tanpa memikirkan tujuan kebijakan secara keseluruhan. Pola pikir jangka pendek menyebabkan terjadinya fenomena ini.

Contoh paling nyata adalah penerapan kebijakan 3-in-1 di Jakarta. 

Tujuan: Mengurangi kemacetan dengan membatasi mobil yang melintas harus berisi minimal tiga penumpang. Alih-alih mengajak keluarga atau teman, masyarakat justru memanfaatkan jasa joki 3-in-1 yang menawarkan diri sebagai penumpang bayaran.

Efek Kobra: Kemacetan tidak teratasi secara fundamental, dan justru menciptakan industri jasa joki ilegal yang eksploitatif.

The Cobra Effect di Dunia Korporasi

Di dunia bisnis dan manajemen, The Cobra Effect paling sering muncul dalam perancangan Sistem Insentif Kinerja (KPI).

Berikut tiga area umum di mana niat baik perusahaan sering "digigit kobra":

1. Jebakan Kuantitas Penjualan

Banyak perusahaan menawarkan bonus besar berdasarkan kuantitas transaksi atau jumlah akun atau outlet baru yang dibuka yang tujuannya adalah pertumbuhan pasar yang agresif. 

Namun, insentif ini mendorong tim penjualan untuk: Mendorong produk yang tidak dibutuhkan pelanggan. Mengabaikan etika demi mencapai target (hard selling). Bahkan melakukan penipuan, seperti kasus Wells Fargo di AS yang membuka jutaan rekening fiktif hanya demi mencapai target penjualan yang mustahil.

2. Efisiensi Pelayanan Pelanggan yang Sesat

Manajemen sering menekan tim layanan pelanggan untuk mencapai Waktu Rata-Rata Penanganan Panggilan (Average Handle Time/AHT) yang serendah mungkin.

Hasilnya? Agen layanan pelanggan akan mempercepat panggilan dengan mengorbankan penyelesaian masalah. Keluhan pelanggan tidak tuntas, memaksa mereka menelepon kembali. Efisiensi tercapai di atas kertas, tetapi kepuasan dan loyalitas pelanggan menurun—membuat masalah (layanan buruk) menjadi lebih parah.

3. Insentif Pengembangan Kode yang Salah

Di tim teknologi, ada manajer yang mencoba meningkatkan produktivitas dengan memberi hadiah berdasarkan jumlah baris kode (Lines of Code/LOC) yang dihasilkan developer.

Developer pun merespons dengan menulis kode yang panjang, bertele-tele, dan tidak efisien hanya untuk meningkatkan hitungan LOC. Hal ini menyebabkan Technical Debt (utang teknis) yang parah, membuat pengembangan dan pemeliharaan produk di masa depan menjadi lambat dan mahal.

Cara Menghindari Gigitan Kobra

Untuk menghindari The Cobra Effect, para pengambil keputusan perlu menerapkan Pemikiran Tingkat Kedua (Second-Level Thinking): jangan hanya memikirkan konsekuensi langsung dari solusi, tetapi juga konsekuensi dari konsekuensi tersebut. Pola pikir jangka panjang yang tidak hanya memikirkan keuntungan sesaat.

Ukur Nilai, Bukan Aktivitas: Alih-alih mengukur aktivitas (contoh: LOC, jumlah panggilan), ukur hasil (contoh: Customer Satisfaction Score/CSAT, stabilitas kode, keuntungan bersih).

Lakukan Pre-Mortem: Sebelum meluncurkan kebijakan, kumpulkan tim dan diskusikan: "Anggap saja kebijakan ini gagal total. Apa saja yang menyebabkannya?" Ini membantu mengidentifikasi celah yang akan dimanfaatkan.

Tinjauan Berkelanjutan: Setiap insentif harus memiliki mekanisme peninjauan dan penyesuaian yang cepat. Jangan sampai Anda terlanjur membiakkan ribuan "kobra" di dalam sistem Anda.The Cobra Effect mengajarkan satu hal: dalam mengelola sistem yang kompleks—baik itu kota, negara, atau perusahaan— bagaimana kita mengukur dan memberi insentif sama pentingnya dengan apa yang ingin kita capai.

Comments